Fasilitasi Pertemuan Terkait Konflik dengan Nelayan Jaring Insang Hanyut di Bulukumba

Bulukumba – Konflik antara nelayan Bulukumba dengan nelayan luar daerah pengguna jaring insang hanyut kembali mencuat. Permasalahan ini dibahas dalam pertemuan yang difasilitasi di halaman Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan (CDK) Sulsel bagian selatan, Selasa (30/9/2025). Pertemuan berlangsung santai namun serius, dihadiri oleh Lembaga PATI yang mewakili nelayan Bulukumba, perwakilan nelayan lokal, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, serta Dinas Perikanan Bulukumba.

Dalam forum tersebut, nelayan Bulukumba menyampaikan keresahan mereka terhadap praktik penggunaan jaring insang hanyut (drift gillnet) yang umumnya berasal dari nelayan luar daerah. Jaring ini memiliki panjang minimal 500 meter, sehingga ketika dipasang oleh banyak kapal dapat menutup ruang tangkap nelayan lain, bahkan berpotensi mengganggu alur pelayaran kapal tradisional maupun perahu motor nelayan setempat.

“Jaring insang hanyut bukan hanya memicu konflik di Bulukumba, tetapi juga di kabupaten lain di Sulawesi Selatan seperti Jeneponto, Takalar, dan Makassar. Ini sudah terbukti menjadi sumber gesekan antar nelayan,” tegas salah satu perwakilan PATI.

Usulan Evaluasi Permenkp No. 36 Tahun 2023

Merespons situasi tersebut, Lembaga PATI didorong untuk mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar dilakukan evaluasi terhadap Permenkp No. 36 Tahun 2023 tentang Penempatan Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan Ikan . Surat PATI ini rencananya akan diperkuat dengan surat teknis dari DKP Sulsel dan Dinas Perikanan Bulukumba, mengingat kewenangan untuk mengubah atau mengevaluasi aturan berada pada pemerintah pusat.

Evaluasi Permenkp No. 36 Tahun 2023 akan disarankan ke pusat untuk mengatur penggunaan jaring insang hanyut dengan beberapa ketentuan, antara lain:

  • Jaring hanya boleh dipasang pada area tertentu dengan jarak minimal dari pantai atau wilayah padat aktivitas nelayan.
  • Penempatan jaring harus memperhatikan jalur pelayaran agar tidak membahayakan lalu lintas kapal.
  • Nelayan dilarang menutup seluruh area perairan dengan bentangan jaring yang masif.
  • Zona penangkapan jaring insang diatas 4 mil agar tidak mengganggu nelayan tradisional yang dominan pemancing.

Alternatif Solusi

Selain mendesak evaluasi regulasi, forum juga menawarkan solusi alternatif agar konflik dapat diminimalisir, antara lain:

  1. Pembatasan Panjang Jaring – Panjang jaring insang hanyut perlu dibatasi lebih ketat (misalnya maksimal 250–300 meter per kapal) untuk mencegah monopoli ruang tangkap.
  2. Penetapan Zona Larangan – Daerah dengan jalur pelayaran, kawasan tangkap tradisional, dan perairan dekat pantai sebaiknya ditetapkan sebagai zona larangan penggunaan jaring insang hanyut.
  3. Pengawasan Bersama – DKP Sulsel, dibantu oleh Dinas Perikanan Bulukumba, aparat penegak hukum, dan kelompok nelayan melakukan patroli dan pengawasan rutin.
  4. Diversifikasi Alat Tangkap – Nelayan diarahkan menggunakan alat tangkap alternatif yang ramah lingkungan dan tidak merugikan nelayan lain, seperti bubu lipat atau pancing ulur.
  5. Mediasi Rutin Antar Nelayan – Pertemuan rutin antar komunitas nelayan lokal dan nelayan luar daerah perlu difasilitasi untuk menghindari benturan langsung di laut.

Dengan adanya langkah konkret ini, diharapkan konflik berkepanjangan antar nelayan dapat dicegah, serta aktivitas perikanan di Bulukumba dan wilayah lain tetap berlangsung dengan aman dan berkelanjutan.

Comments

Popular posts from this blog

Introduksi Teknologi Terus Dilakukan: Demi Nelayan yang Bonafid

Kehobohan Nelayan Berlanjut: Setelah Paus dan Scalicus, Kini Ditemukan Kerapu Kertang

KAPAL NELAYAN MILIK WARGA TERBAKAR DISAMBAR PETIR DI BONTOTIRO